THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 16 November 2008

part 02: Gula-gula (...And The Story Begin...)

dari penulis: rutinitas sehari-hari memberi inspirasi tentang ide cerita baru. Trims buat yang bersedia luangkan waktu untuk membaca dan komentar ^_^


Terbangun tepat pukul 05.30, buru-buru ambil air wudhu untuk sholat Subuh, yang entah jam segini masih bisa disebut Subuh. Masih dengan terburu-buru keluar dari wc dan mengambil sajadah hijau yang terlipat rapi di atas bufet dekat tivi.
Aku tidak terlalu konsen melaksanakan sholat demi mendengar celotehan kemarahan ibu dari ruang tengah tentang keseringanku terlambat bangun subuh. Sementara adikku sudah menyapu dedaunan di halaman. Ah, sok rajin. Sengaja tuh buat ambil hati ibu. Dia cekikikan, nyindir ketika kutengok dia dari jendela depan.
Ini karena kerjaanku yang tidak menentu waktunya, kadang-kadang mesti lembur dan hari libur cuma sehari yang kupake untuk beberes di rumah seharian. Namun tidak ada gunanya membantah ibu, toh beliau bakal balik lagi ke protesnya yang kemarin-kemarin: " ...sudah ibu bilang, pekerjaan wartawan itu ndak mudah dan gajinya sedikit, kenapa ndak melamar di perusahaan saja?". Ah, nantilah, bu... entah kenapa. Pekerjaan ini memang membuatku jenuh, tapi tidak sampai di titik yang aku mau melepasnya.
" Ada tikus lagi berkeliaran di rumah" sahut ibuku sambil lalu lalang, antara dapur dan kamarnya. Beliau hanya mengenakan handuk, siap-siap mandi untuk ngantor.
" Kenapa bisa, ma?" tanyaku sambil menciduk dua sendok nasi dari panci. Sarapan. Pagi ini, menunya adalah sisa semalam yang dipanaskan.
" Tuh, banyak kotorannya di atas wastafel. Kamu kalo pulang dari kantor, langsung aja molor, gak tengok ke tempat sampah. Sampah itu bisa jadi santepan tikus!" delik ibuku, dan melangkah keluar dari dapur menuju kamar mandi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Beliau ngantor jam delapan.
Aku juga siap-siap mo kantoran. Masuk kantor jam sepuluh, bisa lewat dikit tergantung kebijakan sang bos. Karena naek angkot, perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 30 menit, jadi satu jam. Belum lagi macet, atau penumpang kurang, 'tu angkot bisa berhenti di pinggir jalan, trus nungguuuu sampe' ada penumpang, atau kalo mau yang lebih tega lagi, sampe' angkotnya penuh. Bah! Aku jadi harus berangkat jam 08.30. Setor muka di kantor sama bos, trus naek mobil dinas hunting berita, itupun kalo nggak ditinggal sama si supir. Welcome to the jungle of the city.
***
Hari ini dandan apa, ya?
Ingat kejadian kemarin, membuatku urung kenakan jilbab berpentul. Oiya... si lelaki itu. Aku lupa memasukkan ke daftar ingatanku pagi ini, tapi sekarang ingat kok. Namanya Gegen. Dia ternyata mantan reporter citizen di stasiun tivi tempatku bekerja, freelance kata bosku. Pertemuanku kali kedua dengannya di ruangan membuatku sedikit shock, tapi untungnya dia tidak membahas pertemuan pertamaku dengannya pada bigboss yang juga lagi ada di ruangan. Malah bisa dibilang dia tidak mengacuhkanku. Sibuk cerita dengan bosku, bosku pun cukup antusias menanggapinya, membuatku agak sedikit sakit hati.
Dia cuma mampir kok di kantor. Abis itu pergi lagi. Bos sempat cerita-cerita tentangnya, kalo si bos pernah meminta dia untuk jadi reporter tetap di kantor, tapi alih-alih terima, si Gegen malah bilang kalo dia hanya berniat cari pengalaman saja, namun tidak bergelut di dalamnya. Duh, belagunya... aku aja sampe ngemis-ngemis buat diterima jadi reporter.
Ah, sutralah. Sebodo amat mikirin cowok si pengomentar sadis itu.

Aku yang terakhir keluar dari rumah. Ibu sudah berangkat duluan bareng adikku yang ke kampus. Jadi, seperti yang kemarin-kemarin, aku jalan kaki keluar kompleks, panas dan apa boleh buat. Aku sebal sama tukang becak yang suka manggil-manggil genit. Sumpah! Kalo bukan karena terpaksa naek becak, mending jalan kaki. Lebih sehat! Semangat!!
Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di atas angkot. Duduk di bagian belakang, sumpek, gerah, dan matahari lagi terik-teriknya. Apes, deh. Kenapa pagi hariku harus kulalui dengan begini setiap hari?
Salah seorang penumpang, wanita paruh baya dengan penampilan yang bisa dibilang: "...dosen kali' ya?", yang duduk di sampingku menoleh ke arahku. Aku bersikap biasa saja. Well, aku gak senyum sih (jutek dong!), buat apa? emang kenal? lagian kenapa ni ibu noleh-noleh? ada yang salah dengan dandananku? aku kan gak pake jilbab yang transparan lagi? Apa dandananku harus membuat orang melirik dan mengomentar sadis?
" Silakan" sahut si wanita paruh baya. Mengeluarkan sebungkus gula-gula bermerek dari dalam tasnya.
Aku sempat matung. " Eh? A, makasih, bu"
" Ambil aja" kata ibu itu.
Aku pernah baca suatu artikel, atau buku, atau apalah, yang inti isinya tentang etika, salah satunya mengatakan menolak pemberian orang setelah tawaran dua kali adalah perbuatan yang kurang beretika. Makanya kuangkat tangan kananku dengan ekspresi malu-malu, dan mengambil satu gula-gula dari dalam bungkusan yang sudah terbuka sebelumnya. Senyum manisku pun mengembang ke arah ibu itu, sebagai pengakuan salah dan minta maaf atas pikiran negatifku sebelumnya. Kulihat lewat ekor mataku, penumpang lainnya yang sudah di angkot sebelum aku juga memegang bungkusan gula-gula yang sama. Sudah pasti dari ibu berpenampilan dosen yang duduk di sampingku ini.
Well, pagi ini ada lagi pelajaran berharga yang aku dapat. Maknanya masih sama dengan yang kemarin: Teguran.

...Thank God for Your Care.



...to be continued.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tya lancar ngeBlog nya yaH.
Mungkin ada koneksi di koztan yah??
heheheh

Ve Miranty mengatakan...

Assalamualaikum... Tyaaaa... Where is another story? I miss it... Hehehehehe..